Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali menjadi sorotan dunia setelah melontarkan ultimatum keras kepada Presiden Rusia Vladimir Putin. Dalam pernyataan terbarunya, Trump menuntut agar perang di Ukraina dihentikan dalam waktu 10 hari, jika tidak, ia mengancam akan mengambil tindakan tegas bila kembali menjabat sebagai presiden.
Pernyataan kontroversial itu disampaikan saat Trump menghadiri forum kebijakan luar negeri di Washington, D.C., yang juga dihadiri oleh sejumlah tokoh konservatif dan penasihat keamanan nasional.
Isi Ultimatum Trump ke Putin
Dalam pidatonya, Trump menyatakan bahwa konflik Rusia–Ukraina telah terlalu lama berlangsung dan menyebabkan penderitaan besar, bukan hanya bagi Ukraina, tapi juga bagi stabilitas global dan ekonomi dunia.
“Jika saya kembali ke Gedung Putih, perang ini akan selesai dalam 10 hari—atau saya pastikan Rusia akan menghadapi konsekuensi yang belum pernah mereka alami,” ujar Trump dengan nada tegas.
Trump juga menyampaikan bahwa diplomasi gaya lamanya akan lebih efektif dibandingkan pendekatan Joe Biden yang dianggapnya “lemah dan terlalu hati-hati”.
Respons dari Pihak Rusia dan Ukraina
Pihak Kremlin belum mengeluarkan pernyataan resmi, namun juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia menyebut bahwa “ultimatum dari seorang kandidat presiden asing tidak akan mengubah strategi militer Rusia di Ukraina.”
Sementara itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menanggapi dengan hati-hati. Ia menyambut baik segala bentuk tekanan internasional terhadap Rusia, namun tetap menegaskan bahwa Ukraina tidak akan bernegosiasi dalam posisi terjajah.
“Kami menghargai dukungan siapa pun yang ingin membantu menghentikan perang, tapi perdamaian harus disertai keadilan dan pemulihan wilayah kami,” ujar Zelensky dalam konferensi pers di Kyiv.
Reaksi Global dan Analisis Politik
Pernyataan Trump memicu beragam reaksi dari dunia internasional. Beberapa pihak menilai ultimatum tersebut sebagai bagian dari strategi kampanye, mengingat pemilu presiden AS 2024 semakin dekat.
Pandangan para analis:
- Positif: Trump ingin mengakhiri perang melalui tekanan keras dan diplomasi langsung
- Negatif: Gaya agresifnya bisa memperburuk hubungan diplomatik AS–Rusia
- Netral: Hanya retorika kampanye tanpa rincian kebijakan konkret
Menurut pengamat politik luar negeri dari Georgetown University, Prof. Laura Hayes, pernyataan Trump “lebih bersifat simbolis daripada substansial,” karena tidak di sertai peta jalan damai atau pendekatan diplomasi nyata.
Pengaruh terhadap Pemilu AS dan Posisi Biden
Di dalam negeri, ultimatum Trump menjadi senjata politik yang cukup efektif untuk menggugah basis pemilihnya. Ia mencoba tampil sebagai pemimpin tegas dan cepat mengambil keputusan, berbeda dari Joe Biden yang di anggap terlalu moderat.
Namun demikian, Gedung Putih menyatakan bahwa penyelesaian konflik Ukraina bukan sekadar urusan 10 hari, melainkan proses diplomasi yang rumit dan melibatkan banyak pihak.
Juru bicara Biden menanggapi:
“Amerika Serikat mendukung Ukraina dengan konsisten dan melalui jalur yang bermartabat. Kami tidak membual soal perdamaian, kami bekerja untuk mewujudkannya.”
Kesimpulan: Ultimatum Trump, Tekanan Global Baru untuk Rusia?
Trump ultimatum Putin membuka babak baru dalam tekanan internasional terhadap konflik Rusia–Ukraina. Meskipun belum menjabat kembali, ucapannya sudah memantik reaksi dari berbagai pihak.
Namun, apakah ancaman tersebut realistis? Apakah Putin akan merespons tekanan dari seorang kandidat presiden? Dunia kini menanti, apakah ini hanya kampanye politik atau benar-benar awal dari langkah diplomatik baru.
FAQ: Trump dan Ultimatum Perang Ukraina
Q: Apakah Trump bisa menghentikan perang Ukraina dalam 10 hari jika terpilih?
A: Pernyataan itu belum di sertai rencana konkret, jadi masih bersifat politis dan spekulatif.
Q: Apa respons Rusia terhadap ultimatum Trump?
A: Belum ada tanggapan resmi dari Putin, tapi diplomat Rusia menyebut tekanan seperti itu tidak akan mengubah strategi militer.
Q: Apakah Joe Biden menanggapi langsung?
A: Tim Biden menanggapi secara diplomatis, menyatakan penyelesaian konflik membutuhkan pendekatan bertahap, bukan retorika.