Di tengah hiruk pikuk peringatan reformasi, masih ada suara yang tenggelam. Bukan karena tidak penting, melainkan karena tidak nyaman di dengar. Tragedi pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa di bulan Mei 1998 adalah luka sejarah yang belum juga sembuh, bahkan setelah dua dekade lebih berlalu.
Tragedi itu bukan sekadar statistik atau laporan. Ia adalah jeritan perempuan yang diseret keluar rumah, diperkosa di depan anak dan suami, lalu di bungkam oleh negara.
Saat Negara Gagal Melindungi
Mei 1998 menyisakan banyak trauma. Di balik runtuhnya rezim Orde Baru dan euforia reformasi, terjadi gelombang kekerasan terhadap etnis Tionghoa, termasuk pemerkosaan terhadap puluhan bahkan ratusan perempuan.
Sayangnya, hingga kini jumlah pasti korban tidak pernah di umumkan secara resmi. Tidak ada satu pun pelaku yang di bawa ke pengadilan. Sementara itu, banyak korban yang terpaksa meninggalkan Indonesia atau hidup dalam diam, dihantui rasa malu dan takut.
Transisi menyakitkan: Ketika keadilan tak datang, luka justru bertahan lebih lama.
Baca Juga : Setelah Bertempur, Ini Pelajaran Berharga Iran dari Konflik dengan Israel
Keberanian yang Disambut Sunyi
Beberapa korban sempat mencoba bersuara. Mereka melapor, di dampingi aktivis, bahkan mengangkat kasus ini ke PBB. Namun, bukannya mendapat dukungan, banyak dari mereka justru di serang balik oleh stigma masyarakat dan pembiaran oleh aparat hukum.
Komnas Perempuan mencatat bahwa trauma dari kejadian ini masih di alami oleh korban hingga puluhan tahun setelahnya. Banyak yang mengalami depresi, kehilangan kepercayaan diri, dan hidup dalam keterasingan sosial.
βNegara tidak hanya gagal mencegah, tapi juga gagal mengakui bahwa ini pernah terjadi,β ungkap salah satu aktivis perempuan.
Mengapa Tragedi Ini Terlupakan?
Ada banyak alasan mengapa tragedi pemerkosaan Mei 1998 jarang di bicarakan. Salah satunya karena negara masih enggan membuka dokumen dan menyebut angka pasti korban. Selain itu, isu SARA dan politik etnis membuat tragedi ini di anggap “terlalu sensitif” untuk di buka kembali.
Namun, melupakan bukanlah solusi. Justru, pengakuan adalah langkah pertama untuk menyembuhkan luka kolektif bangsa.
Transisi penting: Sebuah negara yang adil tidak takut membuka masa lalunya, betapapun kelamnya.
Suara Korban: Masih Ada yang Bertahan
Meski sebagian korban memilih diam, beberapa di antaranya tetap bertahan dan memperjuangkan keadilan. Mereka bergabung dalam komunitas penyintas, berbagi cerita, dan mendorong di bentuknya pengadilan HAM untuk kasus ini.
Sayangnya, hingga kini pemerintah hanya memberikan respons normatif. Tidak ada langkah konkret dalam bentuk rehabilitasi, permintaan maaf negara, apalagi pengadilan.
Namun, suara-suara itu tetap tumbuh, terutama di media sosial, forum aktivis, dan kalangan muda yang mulai menyadari pentingnya ingatan kolektif.
Penutup: Saatnya Tidak Lagi Bungkam
Tragedi pemerkosaan Mei 1998 bukan hanya luka para korban, tapi juga cermin buruknya keberpihakan negara terhadap perempuan dan minoritas. Jika kita ingin bicara soal reformasi, demokrasi, dan hak asasi, maka tragedi ini tidak bisa terus di abaikan.
Kini saatnya membuka mata, telinga, dan hati. Karena tanpa keadilan untuk korban, reformasi kita tidak pernah benar-benar utuh.