lapangan kerja, Lulusan sarjana makin banyak.
Namun, lowongan kerja tidak bertambah sebanding.
Akibatnya, krisis lapangan kerja melanda Asia, termasuk Indonesia.
Bahkan lulusan SMA pun kini harus bersaing untuk pekerjaan kasar.
Kenapa Asia Alami Krisis Kerja?
Pertumbuhan ekonomi memang ada, tapi tidak cukup cepat menyerap tenaga kerja.
Banyak perusahaan mengandalkan teknologi dan otomatisasi.
Artinya, kebutuhan tenaga manusia makin berkurang.
Selain itu, pandemi mempercepat perubahan dunia kerja.
Banyak sektor yang belum pulih sepenuhnya.
Sarjana Menganggur, SMA Jadi Buruh
Ironisnya, banyak lulusan universitas tidak bisa mendapatkan pekerjaan layak.
Sementara lulusan SMA terpaksa jadi buruh bangunan atau pekerja informal.
Pendidikan tinggi tidak otomatis menjamin masa depan cerah.
Ini bukan hanya soal ijazah, tapi juga soal skill yang sesuai kebutuhan industri.
Baca Juga : India Tak Gentar Ditekan Trump, Pilih Tetap Beli Minyak Rusia
Skill Praktis Kini Lebih Dicari
Perusahaan kini lebih memilih tenaga kerja yang siap pakai.
Skill seperti:
- Teknologi digital
- Komunikasi efektif
- Adaptasi cepat
lebih dibutuhkan daripada gelar semata.
Bahkan, lulusan kursus atau pelatihan singkat lebih mudah terserap pasar kerja.
Ketimpangan Dunia Pendidikan dan Industri
Banyak perguruan tinggi tidak memperbarui kurikulum sesuai kebutuhan industri.
Akibatnya, lulusan tidak relevan dengan dunia kerja nyata.
Di sisi lain, negara belum mampu menciptakan lapangan kerja cukup banyak.
Alhasil, pengangguran meningkat, dan produktivitas menurun.
Apa Solusinya?
Beberapa langkah penting yang bisa dilakukan:
- Revitalisasi pendidikan vokasi
- Mendorong kewirausahaan sejak dini
- Memperkuat koneksi antara kampus dan dunia industri
- Fokus pada pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan skill (upskilling)
Tanpa perubahan signifikan, krisis ini akan semakin meluas.
Penutup: Gelar Saja Tak Cukup
Pendidikan tetap penting.
Namun di era sekarang, gelar saja tidak menjamin pekerjaan.
Dibutuhkan kombinasi antara ilmu, skill praktis, dan mental adaptif.
Karena masa depan dimiliki oleh mereka yang siap berubah—bukan hanya mereka yang berijazah.