Ketika Kamboja Terjebak dalam Perang dan Genosida
Kamboja pernah mengalami salah satu babak paling gelap dalam sejarah Asia Tenggara. Di bawah kepemimpinan Pol Pot dan rezim Khmer Merah, negara ini mengalami perang saudara, kelaparan, kerja paksa, dan pembantaian massal.
Akibatnya, lebih dari 2 juta jiwa tewas antara tahun 1975–1979, atau sekitar 25% dari total populasi saat itu. Karena itu, masa kekuasaan Pol Pot sering disebut sebagai tragedi kemanusiaan terbesar di kawasan ini.
Awal Mula Perang Saudara Kamboja
Konflik internal Kamboja dimulai pada awal 1970-an. Saat itu, pemerintah yang dipimpin oleh Pangeran Norodom Sihanouk digulingkan oleh Jenderal Lon Nol dengan dukungan Amerika Serikat. Lon Nol membentuk Republik Khmer, tetapi mendapat perlawanan dari kelompok komunis yang dipimpin oleh Pol Pot, yaitu Khmer Merah.
Baca Juga : Kamboja Umumkan 13 Korban Jiwa Akibat Perang dengan Thailand
Faktor pemicu utama:
- Ketidakstabilan politik
- Intervensi asing selama Perang Vietnam
- Ketimpangan ekonomi yang tajam
- Propaganda komunis di wilayah pedesaan
Dengan dukungan Vietnam Utara dan Cina, Khmer Merah mulai menguasai wilayah-wilayah penting secara bertahap. Pada 17 April 1975, mereka berhasil merebut ibu kota Phnom Penh dan menggulingkan pemerintahan Lon Nol.
Lahirnya Rezim Pol Pot dan “Democratic Kampuchea”
Setelah berkuasa, Pol Pot mendeklarasikan berdirinya Democratic Kampuchea. Ia menerapkan sistem ekstrem yang ingin menghapus semua jejak kapitalisme dan modernitas.
Beberapa kebijakan brutal yang di berlakukan:
- Mengosongkan seluruh kota dan memaksa rakyat pindah ke desa
- Melarang pendidikan, agama, dan media
- Menghapus uang dan pasar bebas
- Menjadikan semua rakyat sebagai petani dalam sistem kerja paksa
Akibatnya, jutaan orang mengalami kelaparan, penyiksaan, dan eksekusi massal hanya karena di anggap “berpendidikan”, “pro-barat”, atau “beragama”.
Genosida dan Ladang Pembantaian
Di bawah rezim Pol Pot, setiap bentuk perbedaan di anggap sebagai ancaman. Ribuan sekolah, kuil, dan rumah sakit di ubah menjadi penjara dan kamp penyiksaan, salah satunya yang terkenal adalah S-21 Tuol Sleng di Phnom Penh.
Para korban kemudian dikirim ke ladang pembantaian (killing fields) untuk dibunuh tanpa pengadilan.
Korban genosida meliputi:
- Guru dan mahasiswa
- Biarawan Buddha dan umat beragama
- Kaum minoritas etnis seperti Vietnam dan Muslim Cham
- Anak-anak dan lansia yang di anggap “tidak produktif”
Bahkan, banyak korban di eksekusi dengan cara kejam dan tidak manusiawi, hanya demi menghemat peluru.
Reaksi Dunia dan Akhir Rezim
Selama bertahun-tahun, dunia internasional nyaris tidak menyadari skala kejahatan yang terjadi di Kamboja. Namun, setelah Vietnam melakukan invasi pada 1978 dan menggulingkan Pol Pot, dunia mulai membuka mata.
Pol Pot melarikan diri ke hutan dan tetap memimpin gerilyawan Khmer Merah hingga akhir 1990-an. Ia meninggal dunia pada tahun 1998, tanpa pernah di adili secara resmi.
Upaya Rekonsiliasi dan Pengadilan
Pemerintah Kamboja, dengan dukungan PBB, membentuk Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (ECCC) untuk mengadili pelaku kejahatan Khmer Merah.
Hingga kini, hanya segelintir tokoh Khmer Merah yang di jatuhi hukuman. Namun, luka sejarah masih membekas dalam memori rakyat Kamboja, terutama mereka yang kehilangan keluarga dan masa depan akibat rezim ini.
Penutup: Mengingat untuk Tidak Mengulang
Sejarah kelam Kamboja di bawah Pol Pot adalah pengingat kuat tentang bahaya ekstremisme, kekuasaan tanpa kontrol, dan propaganda tanpa nalar. Oleh karena itu, edukasi sejarah seperti ini penting untuk mencegah tragedi serupa terjadi di masa depan.
Mengingat bukan berarti membuka luka, tetapi agar kita semua tidak lupa—dan tidak mengulang.